Pasola, Tragedi Asmara di Padang Savana
Membedah
pulau Sumba terbersit pesan Sumba adalah pulaunya para arwah. Di setiap
sudut kota dan kampungnya tersimpan persembahan dan pujian para abdi.
Nama Sumba atau Humba berasal dari nama ibu model Rambu Humba, istri
kekasih hati Umbu Mandoku, salah satu peletak landasan suku-suku atas
kabisu-kabisu Sumba.
Dua
pertiga penduduknya adalah pemeluk yang khusuk berbakti kepada arwah
para leluhurnya, khususnya kepada bapak besar bersama, sang pengasal
semua suku. Marapu menurut petunjuk dan perhitungan para Rato, Pemimpin
Suku dan Imam agung para Merapu. Altar megalik dan batu kuburan keramat
yang menghias setiap jantung kampung dan dusun (paraingu) adalah bukti
pasti akan kepercayaan animisme itu.
Sumba,
pulau padang savana yang dipergagah kuda-kuda liar yang kuat yang tak
kenal lelah menjelajah lorong, lembah dan pulau berbatu warisan leluhur.
Binatang unggulan tingkatan mondial itu semakin merambah maraknya
perang akbar pasola, perang melempar lembing kayu sambil memacu kuda,
untuk menyambut putri nyale, si putri cantik yang menjelma diri dalam
ujud cacing laut yang nikmat gurih.
Pasola
berasal dari kata `sola’ atau `hola’, yang berarti sejenis lembing kayu
yang dipakai untuk saling melempar dari atas kuda yang sedang dipacu
kencang oleh dua kelompok yang berlawanan. Setelah mendapat imbuhan `pa’
(pa-sola, pa-hola), artinya menjadi permainan. Jadi pasola atau pahola
berarti permainan ketangkasan saling melempar lembing kayu dari atas
punggung kuda yang sedang dipacu kencang antara dua kelompok yang
berlawanan.
Pasola
diselenggarakan di Sumba Barat setahun sekali pada bulan Februari di
Kodi dan Lamboya. Sedangkan bulan Maret di Wanokaka. Pasola dilaksanakan
di bentangan padang luas, disaksikan oleh segenap warga Kabisu dan
Paraingu dari kedua kelompok yang bertanding dan oleh masyarakat umum.
Sedangkan
peserta permainan adalah pria pilih tanding dari kedua Kabisu yang
harus menguasai dua keterampilan sekaligus yakni memacu kuda dalam
kecepatan super tinggi (super speed power) dan melempar lembing (hola).
Pasola biasanya menjadi klimaks dari seluruh rangkaian kegiatan dalam
rangka pesta nyale.
Skandal Janda Cantik
Menelurusi
asal-usulnya, pasola berasal dari skandal janda cantik jelita, Rabu
Kaba sebagaimana dikisahkan dalam hikayat orang Waiwuang. Alkisah ada
tiga bersaudara: Ngongo Tau Masusu, Yagi Waikareri dan Umbu Dula
memberitahu warga Waiwuang bahwa mereka hendak melaut. Tapi nyatanya
mereka pergi ke selatan pantai Sumba Timur untuk mengambil padi. Setelah
dinanti sekian lama dan dicari kian ke mari tidak membuahkan hasil,
warga Waiwuang merasa yakin bahwa tiga bersaudara pemimpin mereka itu
telah tiada. Mereka pun mengadakan perkabungan dengan belasungkawa atas
kepergian/kematian para pemimpin mereka.
Dalam
kedukaan mahadahsyat itu, janda cantik jelita `almarhum’ Umbu Dulla,
Rabu Kaba mendapat pelabuhan hati Rda Gaiparona, si gatotkaca asal
Kampung Kodi. Mereka terjerat dalam asmara dan saling berjanji menjadi
kekasih.
Namun
adat tidak menghendaki perkawinan mereka. Karena itu sepasang anak
manusia yang tak mampu memendam rindu asmara ini nekat melakukan kawin
lari. Janda cantik jelita, Rabu Kaba diboyong sang gatot kaca Teda
Gaiparona ke kampung halamannya.
Beberapa waktu berselang, ke tiga pemimpin warga Waiwuang (Ngongo Tau Masusu, Yagi Waikareri dan Umbu Dula)
yang sebelumnya telah dinyatakan hilang atau meninggal dunia oleh para
pengikutnya tiba-tiba muncul kembali di kampung halamannya. Warga
Waiwuang menyambut mereka dengan penuh sukacita.
Namun
mendung duka tak dapat dibendung tatkala Umbu Dulla menanyakan perihal
istrinya. “Yang mulia Sri Ratu telah dilarikan Teda Gaiparona ke Kampung
Kodi,” jawab warga Waiwulang pilu. Lalu seluruh warga Waiwulang
dikerahkan untuk mencari dua sejoli yang lagi mabuk kepayang itu.
Akhirnya keduanya ditemukan di kaki gunung Bodu Hula.
Walaupun
berhasil ditemukan warga Waiwuang di kaki gunung Bodu Hula namun Rabu
Kaba yang telah meneguk madu asmara Teda Gaiparona tidak ingin kembali.
Ia tidak mau dipisahkan lagi oleh sang tambatan hati yang telah
meluluhlantahkan segala rasa cinta dan kasih sayang yang pernah
diberikannya kepada sang mantan suami, Umbu Dula.
Kemudian Rabu Kaba
meminta pertanggungjawaban Teda Gaiparona untuk mengganti belis yang
diterima dari keluarga Umbu Dulla. Teda Gaiparona lalu menyanggupinya
dan membayar belis pengganti. Setelah seluruh belis dilunasi diadakanlah
upacara perkawinan pasangan Rabu Kaba dengan Teda Gaiparona.
Pada
akhir pesta pernikahan keluarga, Teda Gaiparona berpesan kepada warga
Waiwuang agar mengadakan pesta nyale dalam wujud pasola untuk melupakan
kesedihan mereka karena kehilangan janda cantik, Rabu Kaba. Atas dasar
hikayat ini, setiap tahun warga kampung Waiwuang, Kodi dan Wanokaka, di
Sumba Barat mengadakan bulan (wula) nyale dan pesta pasola.
Akar
pasola yang tertanam jauh dalam budaya masyarakat Sumba Barat
menjadikan pasola tidak sekadar keramaian insani dan menjadi terminal
pengasong keseharian penduduk. Tetapi menjadi satu bentuk pengabdian dan
aklamasi ketaatan kepada sang leluhur.
Pasola
adalah perintah para leluhur untuk dijadikan penduduk pemeluk Marapu.
Karena itu pasola pada tempat yang pertama adalah kultus religius yang
mengungkapkan inti religiositas agama Marapu. Hal ini sangat jelas pada
pelaksanaan pasola, pasola diawali dengan doa semadhi dan Lakutapa
(puasa) para Rato, foturolog dan pemimpin religius dari setiap kabisu
terutama yang terlibat dalam pasola.
Sedangkan
sebulan sebelum hari H pelaksanaan pasola sudah dimaklumkan bulan
pentahiran bagi setiap warga Paraingu dan pada saat pelaksanaan pasola,
darah yang tercucur sangat berkhasiat untuk kesuburan tanah dan
kesuksesan panenan. Bila terjadi kematian yang disebabkan oleh permainan
pasola, dipandang sebagai bukti pelanggaran atas norma adat yang
berlaku, termasuk bulan pentahiran menjelang pasola.
Pada
tempat kedua, pasola merupakan satu bentuk penyelesaian krisis suku
melalui `bellum pacificum’ perang damai dalam permainan pasola.
Peristiwa minggatnya janda Rabu Kaba dari Keluarga Waiwuang ke keluarga
Kodi dan beralih status dari istri Umbu Dulla menjadi istri Teda
Gaiparona bukanlah peristiwa nikmat. Tetapi peristiwa yang sangat
menyakitkan dan tamparan telak di muka keluarga Waiwuang dan terutama
Umbu Dulla yang punya istri.
Keluarga
Waiwuang sudah pasti berang besar dan siap melumat habis keluarga Kodi
terutama Teda Gaiparona. Keluarga Kodi sudah menyadari bencana itu. Lalu
mencari jalan penyelesaian dengan menjadikan seremoni nyale yang
langsung berpautan dengan inti penyembahan kepada arwah leluhur untuk
memohon doa restu bagi kesuburan dan sukses panen, sebagai keramaian
bersama untuk melupakan kesedihan karena ditinggalkan Rabu Kaba.
Pada
tempat ketiga, pasola menjadi perekat jalinan persaudaraan antara dua
kelompok yang turut dalam pasola dan bagi masyarakat umum. Permainan
jenis apa pun termasuk pasola selalu menjadi sarana sosial ampuh.
Apalagi bagi kedua kabisu yang terlibat secara langsung dalam pasola.
Selama
pasola berlangsung semua peserta, kelompok pendukung dan penonton
diajak untuk tertawa bersama, bergembira bersama dan bersorak-sorai
bersama sambil menyaksikan ketangkasan para pemain dan ringkik pekikan
gadis-gadis pendukung kubu masing-masing. Karena itu pasola menjadi
terminal pengasong keseharian penduduk dan tempat menjalin persahabatan
dan persaudaraan.
Sebagai
sebuah pentas budaya sudah pasti pasola mempunyai pesona daya tarik
yang sangat memukau. Oleh karenanya pemerintah dan seluruh warga
masyarakat setempat sangat mendukung untuk menjadikan kegiatan PASOLA
sebagai salah satu `mayor event’ yang pantas menjadi kekayaan budaya
bangsa yang tak ternilai harganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar